SUMMARY
Kebebasan berkeyakinan dan beragama merupakan instrument hak asasi manusia internasional, sebagaimana juga dijamin dalam Pasal 28 E dan Pasal 29 UUD 1945. Namun dalam realitanya, Pemerintah telah melakukan diskriminasi dengan hanya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap enam agama: Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Khonghucu, sedangkan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak mendapat pengakuan dan perlindungan, karena dinilia tidak “beragama”. Melalui mekanisme judicial review UU Administrasi Kependudukan, Mahkamah Konstitusi telah merekonstruksi konsep pengakuan agama dan kepercayaan dalam sistem administrasi kependudukan sebagai ruang kontestasi politik kewarganegaraan. MK menegaskan bahwa penghayat kepercayaan memiliki hak yang sama dengan penganut enam agama resmi yang ada di Indonesia dalam pemenuhan hak warga negara. Tulisan ini berupaya mengelaborasi politik hukum Mahkamah Konstitusi atas rekognisi penghayat kepercayaan dalam politik kewargaan.