SUMMARY
AbstractMany problems arose in the cosmetics advertisements such as excessive claims, lack of distribution licence, disapproved advertisements, and unclear authority of National and Province. In the area of policy and regulation there is unclear which is the local and central government authority in controlling the advertisements. In order to protect the consumers against cosmetics that does not meet the qualifications / requirements and misleading information, an assesment of the cosmetic advertising policy had been conducted. A qualitative study was done in Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, Medan, and Banjarmasin involving institutions such as Directorate General of Pharmaceutical Services and Medical Devices, The National Agency of Drug and Food Control including their provincial offices, and provincial and district health offices.The objectives of this study was to examine advertising policy by means of identifying laws and regulations related to cosmetics advertising at central and regional level, as well as their authorities related to cosmetic advertising. Data were collected by Focus Group Discussion and indepth interview. Data analysis was based on the theme and content analysis. Results show that the relevant laws and regulations of cosmetics advertising at the national level are already existing and identified, while local regulations do not exist yet. The advertising of cosmetics was in accordance with the MOH Decree No 386 of 1994 which should better be revised due to regional autonomy. Authorities pertaining to central and local government were still unclear. Control of advertising was conducted by The National Agency of Drug and Food Control, while manufacturing license was provided and issued by the Directorate General of Pharmaceutical Services and Medical Devices. Deviations of cosmetics advertising were still found in Jakarta, Denpasar, Medan and Banjarmasin.Keywords : Cosmetics advertising, authority, central and local govermentAbstrakPermasalahan periklanan kosmetika adalah adanya klaim yang berlebihan, tidak rasional, tidak punya ijin edar, tidak ada persetujuan iklan, pembagian kewenangan pusat dan daerah yang belum jelas. Dalam rangka otonomi daerah belum ada kejelasan tentang kewenangan di pusat dan di daerah terkait periklanan kosmetika.Untuk melindungi masyarakat konsumen terhadap sediaan kosmetika yang tidak memenuhi syarat dan periklanan yang tidak benar dan menyesatkan, telah dilakukan kajian kebijakan periklanan sediaan kosmetika. Pengumpulan datanya dengan diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam di institusi yang terkait dengan periklanan dan informasi kosmetika yaitu Ditjen Binfar dan Alkes Kemkes RI, Badan POM, Balai Besar POM, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, Medan dan Banjarmasin. Disamping itu dilakukan identifikasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan periklanan kosmetika baik di pusat maupun di daerah serta kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Analisis data dilakukan berdasarkan tema dan analisis isi. Hasil kajian menunjukkan bahwa peraturan perundang - undangan terkait periklanan kosmetika hanya ada ditingkat pusat, periklanan kosmetika masih mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 386/Menkes/SK/IV/1994 yang perlu segera direvisi terkait otonomi daerah. Sedangkan peraturan daerah terkait periklanan kosmetika baik di provinsi maupun kabupaten/kota belum ada, belum ada kejelasan pembagian kewenangan di pusat dan daerah terkait periklanan kosmetika. Kewenangan dan kegiatan pengawasan iklan kosmetika dilakukan oleh Badan POM, sedangkan perijinan produksi kosmetika oleh Dirjend Binfar Alkes, Kemkes RI. Penyimpangan iklan kosmetika masih banyak ditemukan di Jakarta, Bali, Medan dan Banjarmasin.Kata Kunci : Periklanan Kosmetika, Kewenangan, Pemerintah Pusat dan Daerah