SUMMARY
Realitas masyarakat urban dengan heterogenitas tinggi memunculkan probalititas polemik horizontal yang beragam, seperti topik mengenai terusiknya ruang privasi individu. Representasi fenomena tersebut tercermin pada salah satu aktivitas tradisi komunitas muslim, yakni membangunkan sahur pada bulan Ramadan. Pergeseran nilai substansial yang terjadi dalam habituasi ini, yang awalnya sarat dengan nilai kultural menjadi cenderung serampangan, akibat penggunaan pengeras suara (loudspeaker), khususnya di masjid secara berlebihan. Topik menarik ini memancing Penulis untuk mengulik bagaimana akseptasi regulasi pengeras suara masjid oleh Bimas Islam Kemenag RI di masyarakat perkotaan terhadap pelaksanaan tradisi bangun sahur Ramadan. Penelitian ini dilakukan dengan analisis kualitatif dengan orientasi kajian literatur. Penulis akan mengeksplorasi fenomena terkait eksistensi budaya bangun sahur dari masa ke masa, yang dikoneksikan dengan realitas multikultural masyarakat perkotaan. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan probabilitas konflik yang terjadi seputar operasional pengeras suara masjid secara eksesif, khususnya pada aktivitas bangun sahur Ramadan di lingkup spektrum perkotaan. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa resolusi konflik yang terjadi seputar problem ini dapat diatasi dengan dialog secara inklusif antar elemen masyarakat. Temuan interaksi yang proporsional dan tepat akan mengarahkan publik perkotaan pada bilik kesepahaman kordial dan harmonisasi sosial.