SUMMARY
Meskipun dianggap sebagai pahlawan devisa, namun Pekerja Migran Indonesia (PMI) sering kali masih mengalami penderitaan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Perempuan PMI pun tidak jarang menjadi korban perdagangan orang. Diterapkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 diharapkan dapat memberi angin segar dalam upaya pelindungan terhadap PMI. Tulisan ini akan membedah undang-undang tersebut melalui perspektif Feminist Legal Theory, untuk melihat apakah undang-undang tersebut telah benar-benar mampu memenuhi segala hak perempuan PMI. Tulisan ini berkesimpulan bahwa meskipun sudah melakukan pelindungan terhadap PMI, namun undang-undang ini masih terasa buta gender. Terdapat lima kelemahan dalam undang-undang ini, yaitu: 1) tidak membahas mengenai hak atas kesehatan reproduksi dan seksual; 2) tidak membahas mengenai pelindungan terhadap kesehatan reproduksi dan seksual; 3) tidak ada kebijakan pelindungan kepada perempuan dan anak terhadap kesehatan reproduksi dan seksual; 4) tidak ada pelatihan mengenai hak atas kesehatan reproduksi dan seksual bagi perempuan; 5) tidak ada pelatihan kritis dan pelatihan tentang hak-hak perempuan